Rembang – Dusun Ngaglik merupakan daerah kecil yang terletak di Desa Kedungasem Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang yang memiliki hamparan lahan pertanian subur nan asri. Dibalik kesuburan tanah wilayah tersebut, Dusun Ngaglik memiliki mitos mengerikan yang membuat seluruh pejabat maupun aparatur sipil negara (ASN) Kabupaten Rembang berpikir seribu kali untuk datang kesana.
Mitos yang diperkirakan ada sejak jaman belanda hingga bertahan sampai sekarang, menjadi momok yang mengerikan bagi mereka yang memiliki jabatan. Bagaimana tidak, mitos bagi mereka yang memiliki jabatan kemudian datang ke dusun tersebut dipercaya pasti akan ditimpa kesialan.
Mulai dari dicopotnya jabatan hingga penurunan jabatan. Tak hayal semua pegawai pemerintahan pasti tidak sudi jika diajak datang ke dusun tersebut.
Merasa penasaran, Linimedia mencoba untuk datang ke Dusun Ngaglik tersebut untuk menguak awal mula mitos tersebut hingga dipercaya banyak orang. Hamparan hijau tanaman padi dipersawahan menyambut kedatangan kami saat memasuki Dusun tersebut.
Belakangan ini wilayah Rembang memang sering turun hujan, wajar karena di bulan Januari ini Rembang memasuki masa penghujan. Ditemani oleh suami ibu kepala desa setempat, kami diantarkan menuju ke rumah salah satu tokoh masyarakat Desa Ngaglik.
Dibawah cuaca yang mendung kami menunggu tokoh masyarakat setempat disebuah pos kampling yang letaknya ditengah-tengah dusun Ngaglik. Karena pihaknya sedang beristirahat di warung kelontong sembari menghabiskan minuman pesanannya.
Tak lama kemudian kami diajak ke rumahnya yang tak jauh dari warung kelontong tersebut. Terlihat didepan rumahnya terdapat banyak tumpukan kusen dari kayu yang sedang dibuat oleh seorang tukang kayu untuk memperbaiki rumah sederhananya yang berdinding kayu dengan alas tanah.
Mengenakan kemeja batik lengan panjang lengkap dengan sarung dan peci, Sukarjan yang merupakan tokoh masyarakat sekaligus ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Kedungasem itu mempersilahkan kami duduk diruang tamu sederhananya. Dengan suguhan teh hangat yang dibuatkan oleh istri tercintanya, Sukarjan mulai menceritakan awal mula mitos mengerikan desanya yang telah beredar lama dan dipercaya masyarakat.
Dirinya menjelaskan, mitos tersebut sudah ada sejak lama, bahkan sebelum dirinya dilahirkan. Awalnya mitos tersebut hanya sebuah kejadian biasa, seorang pemerintah desa yang berkunjung ke dusunnya kemudian dia lengser dari jabatan.
“Katanya kalau pejabat datang ke dusun saya nanti jabatannya lepas, atau copot, atau tertimpa kesialan yang lainnya, itu kan tidak logis. Itu (mitos, Red) sudah lama sejak orang tua saya, sejak mbah saya, dari buyut-buyut saya kalau cerita gitu,” jelas Sukarjan.
Ia menerangkan, yang namanya sebuah jabatan pasti ada masanya, namun warga didaerah lain menyangkut-nyangkutkannya dengan hal mistis terkait dusunnya. Cerita dari satu orang menyebar ke orang lain dengan tambahan-tambahan yang tidak sesuai dengan fakta aslinya.
“Biasanya kan gitu, ada tambahan tambahan kalau orang cerita. Misalnya orang ini ceritanya satu diceritakan lagi ceritanya jadi dua, kemudian diceritakan lagi tambah jadi tiga, tambah jadi empat, lima dan gitu seterusnya. Jangankan uang, kabar aja sekarang dimarkup,” terang dia.
Mulai lambat laun, dari tahun ke tahun cerita tersebut tersebar luas hingga masyarakat mempercayainya. Setiap ada kejadian kesialan pegawai yang datang ke dusunnya selalu diungkit ungkitkan dengan mitos tersebut.
“Dari cerita yang ditambah-tambahi itu kemudian jadi membesar dan dipercaya sampai sekarang,” jelasnya.
Padahal mitos tersebut belum pernah terjadi kepada seorang pejabat datang ke dusun ngaglik kemudian dicopot jabatannya. Malahan pejabat yang datang ke dusun tersebut bukanya lengser namun dinaikan jabatannya
“Itu belum terbukti, sama sekali belum pernah ada pejabat kesini terus dicopot, kalau naik jabatan malah ada,” tegasnya.
Akibat beredar mitos tersebut, dampak sosial jelas sangat dirasakannya selama tinggal disana. Pelayanan pemerintah yang sebarusnya didapatkan warga dusun ngaglik seakan menjauh dari dusun tersebut.
Mulai dari bidan hingga penghulu pun tidak ada satu pun yang berani masuk dusun tersebut. Diskriminasi itulah yang dirasakan warga ngaglik selama bertahun-tahun. Bidan dan penghulu baru mau melayani warga ngaglik jika mereka mau keluar dari dusun tersebut.
“Bidannya maupun penghulu itu baru mau melayani di dusun sebelah yaitu jasem,” bebernya.
Sambil menghela nafas, dirinya mengungkapkan rasa penderitaan warga ngaglik dirasakan mulai dari bayi yang baru lahir. Peningkatan pelayanan kesehatan yang sering digembor-gemborkan pemerintah seakan terpental saat mendengar dusun ngaglik.
“Saking seringnya melahirkan kan istilahnya ada yang “kebrojolan” bayi tahu-tahu sudah keluar. Bayi yang baru lahir tadi yang seharusnya tidak boleh kena angin terpaksa dibawa keluar biar dipegang sama bidan, kalau seperti itu terus kan kasihan,” terangnya.
Dari pengakuannya, kebanyakan bayi yang lahir di dusunnya tak pernah sekalipun tersentuh oleh tangan seorang bidan hingga mereka tumbuh besar. Padahal berdasarkan undang-undang dari kementrian kesehatan, bayi yang baru berusia 40 hari harus mendapat kunjungan bidan minimal 3 kali.
“Jangankan 3 kali, sekali pun aja tidak pernah, yang kami tuntut cuma satu aja, yaitu pelayanan. Itu yang sangat diharapkan oleh masyarakat, masalahnya yang semestinya ibu melahirkan itu bisa dilayani, bisa diperiksa bisa dikontrol ibu dan bayinya namun sampai saat ini belum pernah,” ungkapnya.
Kejadian-kegadian aneh yang dialami orang-orang ketika datang kesana kerap kali disangkutkan dengan hal mistis. Seperti pagelaran ketoprak di dusun ngaglik yang panggungg roboh diterjang angin hingga tukang sound sistem yang alatnya rusak ketika disewa untuk acara di dusun tersebut.
“Saya kalau ada acara semisal pengajian sampai kesulitan mencari tukang sound sistem yang mau. Alasannya takut kalau alatnya tiba-tiba rusak setelah dari sana, itu kan tidak masuk akal,” terang dia.
Tidak hanya itu, ia pun merasa terheran-heran, sampai tukang gergaji yang ia suruh menggergaji kusen kayunya guna memperbaiki rumahnya sampai ikut-ikutan tidak berani masuk dusun. Alhasil ia harus menggotong kayu miliknya hingga keluar batas dusun agar tukang gergaji tersebut mau mengarjakan kayu milik Sukarjan.
“Tukang gergaji kok ikut-ikutan juga, saya itu sampai berpikir begini, kalau pak pejabat kuatir kalau jabatannya copot, kalau tukang gergaji yang mau copot itu apanya,” ungkapnya sambil tertawa.
Meski demikian, pria yang merupakan jebolan pondok pesantren itu tidak memungkiri jika di dusunnya itu memang kental dengan berbagai mitos. Mulai dari orang luar yang datang untuk meminta ijin mengambil tanah sebagai obat diarea punden yang dikeramatkan, hingga pencuri pakaian yang usai mencuri tidak bisa keluar wilayah dari dusun tersebut.
“Dulu ada yang kesini minta tanah katanya buat obat, kemudian dari pengakuan seorang pencuri yang kesehariannya mencari kodok di sawah itu dia sehabis mengambil pakaian orang terus lari muter-muter tidak ketemu jalan pulang, setelah pakaian yang dicuri tadi dibuang akhirnya bisa pulang, itu ada,” bebernya.
Dengan adanya cerita tersebut, pria usia 40 tahun itu pun menyimpulkan bagi siapapun yang berkunjung ke dusunya dengan niat yang baik, pasti akhirnya akan baik juga. Sebaliknya jika mereka datang untuk hal yang negatif kesialan juga akan menimpanya.
“Kalau itu percaya tidak percaya, kita hidup didunia ini tidak mungkin sendirian, pasti ada makhluk lain. Insya allah kalau datang dengan niat baik, pasti akan baik juga,” katanya.
Dusun yang memiliki penduduk dengan jumlah sekitar 40 kepala keluarga (KK) pada siang itu ramai dengan aktifitas pertanian. Meski agak terlambat, musim penghujan ini memberi berkah yang luar biasa bagi mereka karena mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani sawah, setelah mengalami kekeringan selama berbulan-bulan.
Dusun Ngaglik memang kental dengan budaya yang berbau mistis. Sukarjan mencontohkan salah satu kegiatan warga desa biasanya yang memiliki hewan ternak sapi setiap setahun sekali pasti ada acara yang namanya ngalungi atau ngupati yang tradisi kondangannya digelar ditengah sawah. Kemudian ia berpikir, untuk merubah lokasi acara tersebut agar digelar didalam desa saja.
Karena saat itu kebetulan turun hujan, ia mengusulkan agar acara tersebut dipindah ke tengah desa. Dengan alasan hujan tersebut akhirnya ia berhasil membujuk warga untuk pindah lokasi acara. Lambat laun, ia menggeser sedikit demi sedikit lokasi tradisi kondangan tersebut dengan berbagai alasan hingga acara itu berhasil ia tujukan kedalam masjid, yang tentu saja dalam pelaksanaannya tidak menyalahi syariat islam.
“Saat itu saya memiliki beban berat, karena yang namanya melawan arus itu berat, Alhamdulillah kondangannya sudah bisa pindah di mushola sampai sekarang,” katanya dengan wajah sumringah.
Namun demikian Sukarjan masih memiliki PR besar yaitu untuk menghapus mitos mengerikan yang menyelimuti dusunnya. Beragai upaya sudah berulang kali ia lakukan. Mulai dari ajakannya ke pak camat, hingga ke kepala daerah seperti Bupati dan Wakil Bupati Rembang.
Kegiatan rutin tahunan yang diselenggarakan pemerintah daerah berkeliling ke seluruh kecamatan yang ada di Rembang untuk audiensi dengan masyarakat ia manfaatkan untuk menyampaikan uneg-uneg yang ia pendam sekaligus mewakili perasaan warga ngaglik.
Pada tahun 2018, saat audiensi di pendopo kecamatan Sumber, ia mengajak pemerintah daerah untuk berkunjung ke dusun ngaglik agar mitos tersebut bisa dipatahkan. Kebetulan yang menjawab permintaan tersebut adalah Wakil Bupati Rembang Buyu Andriyanto.
Dikesempatan itu, lanjut Sukarjan, Wabup Bayu mengampaikan dalam waktu dekat akan berkunjung kesana. Namun setelah 1 tahun berlalu, kedatangan pemimpin daerah yang ia dambakan seperti hilang begitu saja, dan harapan tinggal harapan.
“Dulu Wakil Bupati pernah bilang akan berkunjung kesini, waktu ada audiensi di kecamatan. Tapi ya saya tunggu sampai ganti tahunnya nyatanya belum kesini-kesini. Entah itu dihantui mitos tersebut entah sedang banyak acara saya tidak bisa memastikan,” ungkapnya.
Tidak sampai disitu saja, upaya mengajak pemimpin daerah terus dilakukannya, yang terakhir saat kegiatan audiensi pada bulan Desember tahun 2019 di pendopo kecamatan Sumber. Ia kembali mengajak pemimpin daerah untuk berkunjung agar pelayanan pemerintah mulai dari bidan dan penghulu bersedia datang kesana.
Kali ini yang menjawab adalah Bupati Rembang H. Abdul Hafidz, dalam jawabannya Bupati Hafidz akan mengajak seluruh jajarannya untuk mengunjungi dusun tersebut. Mendengar jawaban yang diberikan Bupati, Sukarjan menaruh harapan besar agar kali ini pelayanan bisa sampai ke Dusunnya setelah ada kunjungan Bupati.
“Sekarang logikannya begini, misal bosnya saja tidak berani masuk bawahannya wajar kalau tidak berani. Harapan saya janji-janji dari pejabat yang di Kabupaten bisa direalisasikan, ibaratnya kalau Bupatinya aja datang kesini mengajak camatnya mosok camatnya tidak mau kesini, kalau camat kesini ngajak bawahnnya mosok bawahannya tidak mau. Kalau semuanya sudah bersedia datang kesini, mitos-mitos itu pasti akan terkikis,” ujarnya.
Dalam satu tahun terakhir ini, Sukarjan sedikit merasa lega karena saat ini sudah ada penghulu yang mau masuk desa dan warga bisa melangsungkan pernikahan di dusun mereka sendiri. Pasalnya yang sebelumnya penghulu tidak berani sama sekali masuk dusun dengan berbagai alasan, salah satunya dengan menggelar akad sesuai sunnah islam yaitu didalam masjid.
Karena di dusun ngaglik tidak ada bangunan masjid, maka lagi-lagi warga harus boyongan keluar dusun. Kebetulan masjid terdekat dari dusun ngaglik ada di dusun sebelah yaitu dusun Jasem.
“Kalau kita tidak ke KUA kan pejabatnya harus datang kesini, datangnya tidak kesini tapi ya didukuh sebelah. Alasannya akadnya di masjid aja biar sesuai sunnah Rusulullah, ya itu kalau tujuannya memang sunnah baik. Namun tujuannya tidak gitu kok, biar tidak masuk Ngaglik acara itu ditempatkan di masjid dukuh Jasem aja,” terangnya.
Ia meyakini adanya pergantian kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di Kecamatan Sumber tersebutlah yang akhirnya warga ngaglik bisa terlayani dalam hal pernikahan. Apalagi Kepala KUA tersebut juga merupakan teman baiknya yang dasarnya sangat religius.
“Ini orangnya kan religius, kebetulan juga temen dan berani kesini. Jadi dalam satu tahun terakhir ini alhamdulillah sudah ada akad nikah yang dilaksanakan disini,” ungkapnya.
Sukarjan tidak sendirian dalam memperjuangkan dusunnya agar mendapatkan pelayanan khususnya dibidang kesehatan. Kepala Desa Kedungasem, Zulianah saat dikonfirmasi oleh Linimedia mengatakan, pihaknya juga sudah melaporkan terkait keluh kesah masyarakat dusun Ngaglik dari tahun ke tahun pada kegiatan audiensi yang degelar pemerintahan kabupaten di pendopo kecamatan sumber Desember lalu.
Bersama Sukarjan, Kades yang baru terpilih di bulan November 2019 itu mendapat arahan dari Bupati Rembang H. Abdul Hafidz agar dirinya bersama perangkat desa berkunjung ke dusun ngaglik.
Arahan tersebut seakan tidak memberikan solusi karena Zulianah sudah sering ke dusun tersebut namun tidak terjdi apa-apa. Dari hasil kunjungannya tersebut, Zulianah menyoba meyakinkan masyarakat daerah lainnya dengan mengajak Camat setempat agar lebih meyakinkan.
Namun usahanya tersebut menemui titik buntu. Camat Sumber yang ia hubungi melalui grup Whatsapp terkait fakta dan ajakan agar ikut berkunjung kesana hanya justru tidak merespon. Padahal dari informasi pesan digrup Whatsapp tersebut Camat membacanya.
“Saya sudah coba meyakinkan pak camat, sudah saya kirim pesan melalui grup WA, tapi cuma dibaca saja,” beber Zulianah saat dikonfirmasi Linimedia via telepon.
Ia paham sekali kesusahan yang dialami warganya yang tinggal di Dusun Ngaglik. Zulianah hanya berdoa agar mitos – mitos yang sudah beredar di masyarakat segera hilang, sehingga dusun Ngaglik tak terkesan menakutkan lagi segera mendapat dan warganya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama seperti di dusun lainn
“Yang terpenting bidan desa mau mengurus bayi di dusun Ngaglik, sampai saat ini belum ada bidan desa yang mau masuk. karena yang dibutuhkan hanya bidan desa saja di dusun itu,” pungkasnya.