
Rembang – Jalur pantura Rembang – Lasem memang dekat dengan pesisir pantai. Apalagi di sebalah utara jalan terlihat tambak berjejer rapi dengan aktifitas para petaninya. Ada beberapa pantai yang dilewati dari arah Rembang kota menuju Lasem. Namun Linimedia tertarik untuk melihat kondisi wisata jembatan merah hutan mangrove di desa Pasarbanggi Kecamatan Rembang ditengah pandemi Covid-19.
Gerbang masuk untuk menuju wisata jembatan merah cukup jauh dari jalan pantura, sekitar kurang lebih 1 kilometer. Linimedia harus menyusuri jalan aspal dan sebagian masih tanah selebar kendaraan mobil. Pemandangan tambak-tambak dengan suara riuh dari mesin kincir air milik warga setempat mengiringi perjalanan Linimedia menuju lokasi wisata.
Sesampainya dilokasi wisata sekitar pukul 14.00 WIB hari Minggu tanggal 19 Juni 2020, nampak pintu gerbang dalam keadaan tertutup rapat dengan banner yang tertempel bertuliskan tempat wisata ditutup sementara. Suasana dilokasi wisata nampak sepi. Tidak ada satupun warga yang berada di lokasi wisata, selain warga yang melakukan aktifitas di tambak sekitar lokasi wisata.
Tak berselang lama, tiba-tiba Linimedia dihampiri oleh seorang laki-laki sekitar usia 50 tahun mengenakan pakaian kaos warna biru dengan celana pendek. Orang tersebut datang menggunakan motor matik dari arah yang sama ketika Linimedia masuk menuju lokasi wisata. Ternyata orang tersebut adalah warga setempat yang hendak memberi tahu bahwa tempat wisata masih ditutup.
Namun, setelah menjelaskan maksud dan tujuan Linimedia datang ke tempat wisata jembatan merah itu hanya untuk melihat kondisinya dan mengambil beberapa gambar, Linimedia pun diijinkan memasuki tempat wisata tersebut.
Untuk memasuki tempat wisata itu, Linimedia harus melalui jalur disamping gerbang. Dengan pijakan sebatang bambu besar dengan pengangga pohon bakau yang telah disediakan warga setempat. Karena gerbang masih dalam keadaan tertutup. Setelah berhasil masuk, suasana di dalam tempat wisata seluas 60 hektar itu sunyi sepi. Hanya terdengar suara serangga dan bercikan air laut yang melewati sela-sela batang pepohonan bakau.

Beberapa kayu pada jeti sebagian nampak rapuh, dan sebagiannya masih terlihat kokoh dengan cat warna merah seperti baru diganti. Hamparan tanaman mangrove dengan 15 jenis vegetasi yang menjulang tinggi disisi kanan dan kiri jembatan memangkas sinar matahari untuk memberikan keteduhan. Kebetulan waktu itu panas matahari sangat terik sekali.
Usai mengambil beberapa gambar, Linimedia mencoba menemui pengelola tempat wisata jembatan merah hutan mangrove itu untuk menggali informasi terkait kondisi wisata tersebut ditengah pandemi Covid-19 saat ini. Berdasarkan informasi yang didapat dari warga setempat, rumah salah satu pengelola wisata jembatan merah tidak jauh dari tempat parkir kendaraan pengunjung. Setelah beberapa kali bertanya kepada warga disekitar lokasi parkiran, Linimedia akhirnya menemukan rumah sang pengelola wisata.
Purwanto namanya, laki-laki paruh baya yang mengenakan kemeja warna gelap dan menggunakan sarung itu menjabat sebagai sub pengelola wisata jembatan merah hutan mangrove. Ia menyambut Linimedia dengan ramah dirumahnya. Dirinyapun menjelaskan gambaran kondisi wisata jembatan merah hutan mangrove ketika ditutup selama pandemi Covid-19.
Dana Terkuras Habis Untuk Membangun Jeti Baru
Meskipun tidak ada pengunjung yang datang ke tempat wisata, jembatan merah tetap perlu perawatan. Apalagi jembatan atau jeti yang terbuat dari kayu, jika dibiarkan lama-lama juga akan rapuh. Sehingga perlu pengawasan secara rutin agar jeti tidak rusak parah.
“Ada pengunjung atau tidak itu kan jeti tetap rusak. Jadi setiap hari tetap ada yang kontrol,” bebernya.

Dirinya mengaku, sebelum mewabahnya virus Covid-19 pengelola wisata jembatan merah telah membangun jeti baru untuk memanjakan pengunjung ketika libur lebaran tiba. Pembangunan selesai bulan Februari. Namun sayang, adanya wabah Covid-19 membuat seluruh tempat wisata harus ditutup.
“Pembangunan jeti baru itu selesai pada pertengahan bulan Februari,” katanya.
Tentu hal itu diluar pemikiran dari pihak pengelola. Tanpa wisatawan secara otomatis tidak ada pemasukan lagi untuk biaya perawatan wisata jembatan merah. Padahal dana yang dimiliki pihak pengelola yang sudah dikucurkan semua untuk membuat jeti baru.
“Kita sudah persiapan penambahan jeti untuk persiapan lebaran. Tapi akhirnya harus ditutup, dana sudah terlanjur habis,” jelasnya.
Perbaikan Jeti Dengan Dana dan Kayu Seadanya

Karena dana sudah terkuras habis untuk pembuatan jeti baru, pihak pengelola pun harus putar otak untuk biaya perawatan jeti. Alhasil, pihak pengelola harus menggunakan dana seadanya untuk perawatan jeti.
Untuk mengganti kayu jeti yang sudah rapuh, pihak pengelola mengakalinya dengan menggunakan kayu seadanya. Tentu dengan kondisi kayu yang masih kuat.
“Sedikit-sedikit berbenah yang penting jetinya itu tidak sampai rusak parah. Kita melakukan tambal sulam saja pada kayu yang rapuh,” terangnya.
Tidak hanya itu, papan baliho wisata jembatan merah yang ada di depan pintu masuk juga roboh termakan usia. Namun pihak pengelola sudah tidak bingung karena ada warga yang peduli dan menawarkan pipa besi untuk memperbaiki baliho yang roboh itu.
“Kemarin alhamdulillah ada yang menawarkan pipa untuk baliho, mungkin satu sampai dua hari kita sudah memperbaiki baliho yang ada di pintu masuk,” ucap dia.
Menambah Tanaman Mangrove
Beberapa pekan lalu, kata Purwanto, wisata jembatan merah mendapat kunjungan dari kementrian. Tidak sekedar mengunjungi, wisata jembatan merah mendapat bantuan bibit mangrove dengan area tanam seluas kurang lebih 30 hektar.
“Kemarin ada tim survei untuk penanaman yang kelasnya besar dari pemerintah pusat kita ditawari penanaman sekitar 20 sampai 30 hektar,” jelasnya.

Rencananya pihak pengelola akan menanam bibit mangrove tersebut disebelah timur jeti seluas 5 hektar. Sedangkan untuk sisi barat jeti akan ditanam bibit mangrove dengan luasan 25 hektar.
Sedangkan untuk perawatan mangrove yang sudah ditanam biasanya hanya diambil yang sudah mati atau gagal tumbuh. Kemudian ditanam menggunakan bibit yang baru.
“Biasanya itu kita cuma tambal sulam dari mangrove yang rusak atau mati, kita tanam lagi bibit disana,” ucapnya.
Sementara ini pihaknya fokus pada pembenahan jeti sebelum tempat wisata benar-benar diijinkan untuk buka. Jika terkait kapan wisata jembatan merah dibuka, Purwanto mengaku menunggu tempat wisata lainnya buka dahulu. “Nanti seperti apa prosedurnya akan kita ikuti,” lanjutnya.
Mengenai biaya yang dikeluarkan selama perawatan, Purwanto menyebutkan kurang lebih Rp. 5 juta. Itu pun baru mencakup perbaikan jeti saja. Belum termasuk perawatan mangrove dan pembersihan sampah area sekitar jeti.
“Yang penting kita persiapan itu jetinya kuat dan tidak rusak. Yang namanya kayu mau dipakai atau tidak kan tetap rusak,” jelasnya.