RembangĀ – Tiongkok kecil Heritage dan batik tulis selama ini menjadi salah satu yang paling dikenal oleh masyarakat luas dari Lasem, sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang. Tidak banyak yang tahu bahwa di daerah Lasem khususnya Desa Karangturi memiliki sebuah industri rumahan yang membuat jajanan khas yang otentik sejak ratusan tahun silam.
Panganan tersebut yakni Kue Yopia, kue kering berkulit tipis dengan isian gula Jawa. Mungkin bisa dibilang yopia merupakan penggabungan akulturasi kuliner Tiongkok dengan Jawa. Jika dilihat dari kulitnya saja dibuat menggunakan bahan terigu khas makanan Tiongkok, sedangkan isiannya menggunakan gula aren yang begitu identik dengan kuliner Jawa
Sekilas, yopia mirip nopia khas Banyumas atau bakpia dari Yogyakarta, meski nggak bisa dibilang serupa karena kue ini lebih berongga dan besar.
Merasa penasaranĀ LinimediaĀ mencoba mengunjungi langsung ke lokasi pembuatan kue legendaris yang masih eksis hingga sekarang. Tidak terlalu sulit untuk menemukanĀ lokasi pembuatan kue yopia saat menuju ke Desa Karangturi. Saat bertanya kepada warga setempat, mereka langsung tahu dan menunjukan lokasi pembuatan kue yopia.
Saat ditunjukan warga, didapati rumah dengan dikelilingi pagar yang terbuat dari seng (besi tipis yang berlapis timah). Saat memasuki tempat produksi yopia, nampak bangunan rumah tua yang memiliki arsitektur cina dengan dinding kayu-kayu tuanya dan anjing penjaga yang merupakan peliharaan wajib warga tionghoa.
Tidak lama kemudian, seorang wanita tua dengan potongan rambut pendek yang mengenakan pakaian daster biru keluar rumah dan menyapa dengan ramah. Kami dipersilahkan duduk dikursi panjang yang terbuat dari kayu didepan rumah miliknya.Ā
Dia bernama Waras, wanita usia 74 tahun itu merupakan generasi 3 yang meneruskan usaha pembuatan kue yopia secara turun menurun. Dengan nada lembut dan senyum yang terpancar, dirinya menerangkan perjalanannya dalam mempertahankan kue yopia tetap eksis dari masa ke masa.
Waras menerangkan, kue yopia merupakan warisan yang diteruskan secara turun menurun oleh sang mbah buyut Tan tjiem Liang yang merupakan generasi pertama sejak ratusan tahun yang lalu. Usaha pembuatan kue ini awalnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan menghidupi keluarga sehari-hari.
“Mbah sama orang tua saya dulu tidak pernah bercerita sejarah kue ini bagaimana, bilangnya cuma usaha ini buat makan sehari-hari, tidak perlu cari kerjaan lain, gitu aja pesannya,” kata Waras.
Dahulu kala pembuatan kue yopia menggunakan alat-alat tradisional, seperti pangangan kue yang menggunakan bahan bakar arang, cap produk yang terbuat dari kayu yang diukir berbentuk kupu-kupu (sesuai produk kue yopia cap kupu-kupu yang digunakan hingga sekarang) dan penggilingan adonan dari balok kayu berbentuk bulat dengan pegangan disisi ujung kanan dan kirinya.
“Jaman dulu belum seperti ini menggunakan oven, dulu masih pakai arang untuk manggang yopia,” kata dia.
Proses pembuatan adonan kue dilakukan mulai dini hari sekitar pukul 02.00 bebarengan dengan pembuatan isiannya yaitu gula aren yang dicampur dengan air. Proses pembuatan adonan bisa mamakan waktu hampir 2 jam dan adonan harus diaduk-aduk terus. Setelah adonan tepung jadi, kemudian dibentuk memanjang dengan diameter kurang lebih 2 cm dan dipotong kecil-kecil menyerupai dadu.
Dari adonan yang sudah terpotong-potong tadi, digiling menggunakan balok kayu hingga berbentuk bulat pipih. Setelah itu baru diberi isian gula aren yang kemudian ditutup dengan adonan tepung dan digiling kembali.
Waras menerangkan dalam pembuatan adonan tidak ada takaran khusus, yang digunakan hanyalah perkiraan saja. Meski berdasarkan perkiraan rasa yopia buatannya tidak ada perubahan rasa dari semenjak yopia dibuat oleh generasi pertama.
“Tidak ada takaran, ya cuma dikira-kira saja karena dulu mbah buyut ngajarinya gitu. Sampai sekarang yang dipakai ya cuma itu (takaran kira-kira), jadi kalau tidak keluarga tidak bisa buat,” bebernya.
Setelah semua adonan yopia dibentuk kemudian dimasukan dalam oven dengan suhu 200 derajat selama 3 menit. Jika terlalu lama di dalam oven kue yopia yang dihasilkan akan keras pada kulitnya, selain itu permukaannya juga kering dan gosong.
Proses pembuatannya pun tergolong cukup susah, karena jika adonan yang digiling tadi seusai diberi isian gula jawa tidak tertutup sempurna atau masih ada sedikit rongga, kue yopia yang masuk kedalam oven tidak akan bisa mengembang. Waras yang sehari-harinya membuat kue yopia pun kadang juga masih mengalami kegagalan saat membuatnya.
“Kalau adonan tepung itu masih ada lubang pasti tidak jadi, kue tidak mau mengembang seperti kempes,” ucap dia.
Hasil kue yang gagal mengembang tidak serta merta kemudian dibuang, namun biasa ia makan sendiri bersama keluarga atau buat bahan mencicipi pengunjung yang datang kesana. Bahkan ada beberapa pengunjung yang kepencut dengan yopia yang gagal mengembang, malahan ingin memesan dengan jumlah yang banyak.
“Tapi kadang ada pembeli yang sukanya yang kempes, dia pengen pesen, tapi kan itu tidak bisa karena itu juga tidak disengaja,” jelasnya.
Dalam membuat yopia wanita yang memiliki nama tionghoa Siek Tian Nio ini, dibantu anak bungsunya yang bernama Tony Haryanto dan satu karyawan dari warga setempat untuk bagian pengemasan. Dirinya sengaja karyawannya diposisikan dibagian luar pengolahan yopia pasalnya untuk bagian pengolahan mulai dari proses pengadonan dlhingga pemanggangan harus dipegang oleh keturunan yang kelak meneruskan usahanya.
Tan tjiem Liang merupakan generasi pertama yang mengajarkan ilmu pembuatan kue yang legendaris ini. Waras menerangkan proses penjualannya pun dulu dijual keliling menggunakan toples dari rumah ke rumah dengan jalan kaki.
Mungkin bagi warga tionghua tidak merasa asing dengan jajanan kue yopia ini, pasalnya dari bentuknya saja kue ini mirip dengan makanan khas tionghua seperti bakpau dan bakpia. Namun tidak mudah baginya untuk mengenalkan kue ini kepada orang jawa karenaĀ tidak sedikit yang menganggap kue ini haram.
“Dulu banyak yang bilang kue ini haram, tidakĀ ini kue halal, semua bisa makan. Bahannya saja cuma tepung sama gula jawa (gula aren) tidak ada campuran bahan lainnya,” jelasnya.
Meskipun dirinya terus menjaga keotentikan kue yopia dari segi rasa dan bentuk dari mbah buyutnya namun ada beberapa identitas yang terpaksa harus ia hilangkan. Kue yopia yang dahulu pada bagian tengah kue memiliki cap berbentuk kupu-kupu sebagai identitas produk kue yang diproduksi. Karena ada permintaan dari pembeli, akhirnya cap tersebut tidak diberi lagi.
“Bilangnya itu bahaya karena pakai pewarna, padahal yang dipakai itu pewarna makanan tapi pembeli bilangnya itu pakai sumbo (pewarna buatan), ya sudah sekarang tidak saya kasih lagi,” terangnya.
Masa-masa berat pernah ia alami saat ditinggal sang suami yang berusia 50 tahun. Waras harus menghidupi 4 anaknya yang saat itu masih sekolah semua. Melalui kue yopia dirinya berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Berjualan dari rumah ke rumah hingga kota ke kota menggunakan transportasi bus dan keliling jalan kaki menawarkan yopia.
“Dulu sangat susah, harus keliling bawa kardus menawarkan. Sampai naik bus jualan ke Surabaya juga,” bebernya.
Saat disinggung suka duka dalam perjalanannya berjualan yopia untuk menghidupi keluarganya, dirinya sontak meneteskan air mata seakan teringat kembali perjuangan beratnya yang ia alami. Tidak ada kata-kata yang terucap darinya, hanya tetesan air mata yang berusaha ia bendung dan ia usap menggunakan tisu.Ā
“Saya ndak bisa mas, berat perjuangannya dulu saya tidak bisa menjelaskannya,” ucapnya dengan air mata yang tak hentinya keluar.
Sementara itu Tony Haryanto anak bungsunya yang juga merupakan penerus generasi ke 4 usaha kue yopia yang duduk bersama kami disaat itu mengatakan jika diingatkan kembali masa-masa susah dulu, mami (sapaan untuk ibunya) pasti menangis. Pasalnya ia tahu persis perjuangan maminya karena dulu dirinya juga ikut berjualan keliling bersama maminya.
“Ya gitu, mami kalau diingatkan perjuangannya dulu pasti nangis, karena berat sekali perjuangannya membesarkan 4 anak sendiri jualan yopia,” kata dia.
Sejak kecil Tony selalu ikut maminya untuk keliling berjualan kue yopia. Meski berjualan hingga keluar kota Tony tidak pernah absen untuk selalu mendampinginya.
“Dulu pernah tempat minum saya jatuh terus terlindas kendaraan sampai pecah. Saya nangis tidak mau jalan lagi sampai dibelikan yang baru,” bebernya.
Sebelum Tony ikut membantu dalam pembuatan kue yopia, ia tinggal dan bekerja di Kabupaten Kudus. Melihat usia maminya yang tidak muda lagi akhirnya Tony pada tahun 2016 memutuskan untuk pulang kampung dan ikut membantu membuat kue sembari menjaga maminya yang tinggal seorang diri setelah semua anak-anaknya bekerja dan menetap diluar kota.
“Saya pikir-pikir dari pada kerja ikut orang gajinya juga segitu saja sedangkan di rumah sudah ada usaha yang sudah jalan mendingan saya pulang meneruskan usaha ini sekalian jaga mami. Karena kalau tidak saya yang meneruskan sedangkan saudara yang lain di luar kota semua jajanan ini akan hilang,” bebernya.
Saat ini Tony yang bekerja membuat kue yopia dan maminya bertugas mengawasi cara pembuatannya sekaligus menghitung jumlah pesanan pelanggan yang masuk. Didapur kecil dengan dinding kayu dan beratapkan genting yang dilapisi plastik, ratusan kue yopia dibentuk setiap dua hari sekali.
Tony mengaku saat ini sudah memiliki pelanggan tetap berjumlah puluhan yang selalu memborong kue yopia. Mereka biasanya adalah para pengusaha pusat oleh-oleh diberbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Semarang dan Surabaya. Namun demikian usaha Tony untuk memasarkan jajan ini juga tidak mudah, penolakan pun pernah ia rasakan juga.
“Dulu saat saya memasarkannya di Kudus di tempat oleh-oleh pernah ditolak, bilangnya ini makanan apa, enak apa tidak, bentuknya kok gini. Tapi sekarang dia malah yang cari saya, mungkin sudah tahu rasanya terus pengen order untuk tempat oleh-olehnya,” terangnya.
Dimasa imlek ini, lanjutnya jumlah pesanan kue yopia meningkat 50 persen dari hari biasanya. Dalam sehari dirinya mampu diproduksi kue yopia sebanyak 500-600 buah. Harganya pun cukup terjangkau, satu kardus isi 10 kue yopia dibandrol dengan harga Rp. 25 ribu saja. Meski jumlah pesanan membludak dirinya selalu menyisakan stok untuk berjaga jaga jika ada pembeli yang menanyakan ketersediaan kue yopia.
“Kue ini kan tidak bisa dibuat secara mendadak, butuh proses berjam-jam sampai matang. Jadi kalau ada orang yang mintanya mendadak ya tidak bisa karena ini tidak seperti kayak membuat pisang goreng yang bisa jadi dengan cepat,” paparnya.
Tidak sedikit Kunjungan dari mahasiswa hingga media nasional yang datang untukĀ menyaksikan langsung proses pembuatan kue legendaris itu. Tidak hanya mendapat tamu dari dalam negeri, tempat usaha yang juga merupakan rumah leluhurnya itu juga pernah dikunjungi wisatawan dari luar negeri, diantaranya Malaysia dan negeri tirai bambu Jepang.
“Pernah ada tamu dari mana saya lupa yang jelas warga negara Indonesia memborong banyak kue saya terus katanya mau dibawa ke Amerika untuk keluarganya yang disana,” imbuhnya.
Untuk pengiriman luar kota saat ini Tony memilih memanfaatkan jasa travel ketimbang jasa pengiriman lainnya. Alasannya, jika menggunakan pengiriman ekspedisi lain dikhawatirkan kue yopia akan hancur karena terlempar-lempar dan tertumpuk barang lainnya. Misal menggunakan packing kayu biayanya juga akan lebih mahal, dan memberatkan pembeli dengan ongkos kirimnya.
“Pernah ada yang minta pengiriman menggunakan jasa ekspedisi, tapi saya bilang tidak janji barang akan utuh sampai lokasi. Kemudian saya sarankan untuk pakai travel atau datang dan ambil langsung disini. Dia milih untuk diambil langsung kesini,” pungkasnya.