Rembang – Kopi merupakan minuman wajib bagi sebagian besar warga Rembang yang dikonsumsi setiap harinya. Hingga minuman yang mengandung kafein ini menjadi maskot yang unik bagi Kabupaten Rembang khususnya daerah Kecamatan Lasem.
Bagaimana tidak, ampas kopi yang biasanya tidak terpakai atau dibuang setelah diminum airnya, di Rembang dimanfaatkan untuk menambah rasa nikmat pada batang rokok saat dihisap. Itulah yang menyebabkan minuman kopi tidak pernah lepas dari belasan batang rokok di kawasan Rembang.
Namun tidak sembarang bubuk kopi bisa dimanfaatkan ampasnya, butuh proses khusus dalam pembuatan bubuk kopinya
Nama kopi tersebut adalah kopi lelet, kopi yang selalu dipesan bagi para perokok saat mampir diwarung kopi sebelum memulai aktifitas dipagi hari. Mereka biasanya melelet (memberi ampas kopi di batang rokoknya) semua batang rokok miliknya sebagai bekal untuk mengarungi rutinitas sehari-hari.
Kebiasaan itu bisa disebut agenda wajib hingga tanpa disadari terbawa saat berada diluar daerah. Mereka yang biasa ngopi lelet, membawa bubuk kopi sendiri dan hanya memesan secangkir air panas dan gula saat diwarung, karena mereka menyadari jika diluar Rembang kopi lelet tidak mungkin bisa dijumpai. Darisanalah kopi lelet yang lahir di daerah Lasem ini mulai dikenal sedikit demi sedikit orang-orang diluar Rembang.
Selain rasa dan tekstur bubuk kopinya berbeda dengan daerah lain, kebiasaan melelet batang rokok mungkin bagi sejumlah orang yang belum mengenal merasa aneh. Sebab rokok yang sudah tersusun rapi didalam tempatnya dikeluarkan semua untuk dicorat-coret dengan ampas kopi.
Dari keanehan tersebut, lambat laun kopi lelet mulai dikenal dimasyarakat luar. Berawal dari rasa penasaran, tidak sedikit dari mereka yang mengakui bahwa rokok yang dilelet menggunakan ampas dari kopi lelet memiliki aroma dan rasa yang nikmat saat dihisap walau baru pertama kali mencoba.
Sejarah Kopi Lelet Berawal Dari Kopi Dulit
Meski menjadi kopi otentik dari Rembang, hanya segelintir orang yang mengetahui sejarah panjang yang menyelimuti nikmatnya secangkir kopi lelet. Merasa tertarik untuk mengulik cerita sejarahnya, Linimedia mencoba menyambangi kediaman Ernantoro, seorang sejarawan yang sangat hafal seluk beluk sejarah di daerah Lasem.
Saat dikunjungi dirumahnya yang berada di Desa Gedongmulyo, Toro sapaan akrabnya telah menyiapkan denah perkembangan kopi lelet yang dulunya dikenal kopi sedulit digambarkan pada papan tulis putih dengan warna hitam. Dirinya telah menyiapkannya karena sebelumnya Linimedia telah membuat jadwal bertemu untuk mengulas sejarah kopi lelet melalui pesan whastapp.
Linimedia dipersilahkan masuk diruang tamu dan duduk lesehan beralaskan karpet hijau tanpa ada kursi satupun karena tempat tersebut biasa digunakannya untuk menjamu para seniman Rembang yang ingin berdiskusi dengan dirinya. Dengan suguhan segelas kopi yang dipesankan oleh salah seorang murid yang berguru sejarah di rumahnya, Toro mulai menjelaskan dari daerah Desa Gedongmulyo Kecamatan, dimana daerah tersebut menjadi pusat penjualan kopi sedulit pertama kali.
Toro mulai menjelaskan pada tahun 1930 di Desa Dasun terdapat galangan kapal milik tuan Berendsen yang merupakan seorang warga negara Belanda. Di seberang galangan tersebut tepatnya di desa Gedongmulyo terdapat warung-warung yang menjual makanan dan minuman khususnya kopi untuk para pekerja di galangan kapal.
Jumlah warung tersebut cukup banyak mengingat galangan yang dimiliki tuan Berendsen juga ada 6 dok kapal yang berjejer. Banyak warga pribumi Lasem yang mencari mata pencaharian dengan bekerja di galangan kapal itu.
“Dulu berjejer banyak warung-warung yang jualan kopi dan pembelinya para tukang yang kerja di galangan kapal,” jelas Toro.
Usai bekerja di galangan kapal biasa para pekerja menyebrangi sungai Babagan yang membelah wilayah Lasem sejak tahun 1700melalui jembatan kecil yang menghubungkan dua desa tersebut untuk menikmati secangkir kopi di warung milik Mbah Toyib yang saat itu paling terkenal disana sembari bersenda gurau dengan pekerja lainnya.
Dari sana, mereka memiliki kebiasaan unik untuk menambah awet rokok yang mereka hisap. Yaitu dengan cara mengoleskan ampas kopi yang airnya telah mereka minum menggunakan jari telunjuk atau biasa disebut didulit. Lambat laun kebiasaan tersebut menular dari pekerja satu ke pekerja yang lain hingga kawasan warung tersebut dikenal dengan warung kopi sedulit.
Warung Kopi Sedulit Pindah Tempat Saat Kedatangan Tentara Jepang
Setelah tentara Jepang berhasil memukul mundur tentara Belanda dan mengambil alih kekuasaan di Indonesia tahun 1942. Warga Belanda yang masih ada di Indonesia merasa terancam hingga Herlena anak perempuan Berendsen yang mewarisi galangan kapal usai Berendsen kembali ke negara asalnya, akhirnya membakar semua galangan kapal dengan maksud agar galangan kapal itu tidak dikuasai Jepang pada masa itu.
Merasa terdesak wanita yang merupakan keturunan campuran Belanda dan Jawa itu melarikan diri dan keluar dari wilayah Kabupaten Rembang menuju ke Kabupaten Blora. Sampai saat ini, belum diketahui alasan Herlena lari dari kedatangan tentara Jepang.
Galangan kapal sudah terbakar habis, hingga warung kopi milik Mbah Toyib jadi sepi pembeli, karena rata-rata pembeli dari para pekerja galangan. Merasa tidak ada lagi pekerja di galangan yang membeli kopi dagangannya, ditambah banyaknya tentara Jepang yang ada di daerah tersebut yang mengintimidasi warga pribumi. Akhirnya Mbah Toyib memutuskan pindah berjualan kopi di Desa Ngemplak Kecamatan Lasem arah pegunungan lasem.
“Akibat desakan tentara Jepang, dan galangan kapal juga sudah terbakar, tidak ada yang kerja disana lagi akhirnya Mbah Toyib ini pindah jualannya,” ucapnya.
Bertempat dipinggiran sungai arah Warugunung yang sudah ada sejak abad ke 13, Mbah Toyib mulai mendirikan warung kopi sedulit sekaligus rumah yang ia tempati bersama keluarga kecilya. Ditempat itulah hingga sekarang usaha warung kopi milik Mbah Toyib diteruskan dari generasi ke generasi.
“Sampai sekarang Mbah Toyib jualan kopinya disana (Desa Ngemplak), karena Mbah Toyib sudah tidak ada (meninggal) saat ini diteruskan oleh keturunannya,” jelasnya.
Toro pun mengajak Linimedia untuk langsung menuju ke lokasi warung kopi Wak Nasir yang merupakan generasi penerus ke tiga dari warung kopi Mbah Toyib setelah generasi ke dua Mbah Kasmi. Disana dijumpai warung sederhana berukuran kurang lebih 3×4 meter dengan cat tembok warna biru.
Bertempat dipinggir jalan arah pegunungan Kajar, warung tersebut berada didepan rumah yang dihuni Wak Nasir bersama keluarganya. Warung itu tergolong cukup terkenal dan ramai pengunjung. Para warga setempat yang sedang menikmati secangkir kopi dan bercengkrama dengan kawannya pun tidak asing saat kedatangan media hendak melakukan liputan disana. Wajar, banyak media nasional yang telah melakukan liputan untuk mengulik sejarah Lasem termasuk warung kopi milik Wak Nasir ini.
Proses Penyajian Kopi Dulit
Saat diajak berbincang didepan warung miliknya, Wak Nasir mengaku dirinya mulai berjualan kopi mulai tahun 1984, setelah sebelumnya kopi Mbah Toyib diteruskan oleh generasi ke dua. Sebagai penerus generasi ke tiga, Wak Nasir masih menggunakan cara tradisional saat merebus air untuk kopi, yaitu menggunakan arang dan tungku yang terbuat daritanah liat.
“Kalau pakai tungku itu aroma airnya beda, sama panas air itu awet karena kan arangnya nyala terus. Kalau pakai kompor kelamaan, air tidak bisa panas terus,” jelasnya.
Wak Nasir menyebutkan, tidak ada cara khusus untuk membuat kopi dulit yang saat ini terkenal dengan kopi lelet. Biji kopi sebanyak 2 kilo gram disangrai selama 30 menit hingga biji kopinya gosong atau menghitam.
Untuk proses penggorengannya sudah berubah tidak menggunakan kayu lagi namun sudah menggunakan kompor. Jika matangnya kurang sempurna warna kopinya pun cenderung kecoklatan, tidak bisa menghitam saat diselep.
“Kalau pakai kayu itu kayunya harus benar-benar kering, kalau hujan jadi kendala. Proses penggorengan tidak bisa dilakukan kalau kayu basah. Jadi biar bisa produksi terus sekarang pakainya kompor, apinya stabil bisa dibesarkan bisa dikecilkan” bebernya.
Namun, ada proses yang berbeda dalam proses pembuatan kopinya, yaitu diproses penyelepan biji kopi yang telah disangrai. Wak Nasir mengungkapkan, proses penyelepan dilakukan sebanyak tujuh kali. Itu dilakukan agar dapat menghasilkan bubuk kopi yang sangat halus dan bisa digunakan untuk mendulit atau melelet kopi.
“Harus 7 kali selep, biar halus jadinya nanti, kalau kurang dari itu hasilnya kasar, tidak bisa digunakan untuk lelet. Kayak kopi-kopi biasa jadinya,” ucapnya.
Perubahan Kopi Sedulit Menjadi Kopi Lelet
Perbedaan kopi sedulit dengan kopi lelet sendiri terletak pada cara mengoleskan ampas kopi ke batang rokoknya. Jika sedulit yang dulu itu menggunakan jari tangan saat mengoleskan ampas kopi. Cara pengolesannyapun asal-asalan tanpa pola. Namu jika kopi lelet sudah menggunakan alat berupa sendok, benang, dan lidi untuk mengoleskan ampas kopi ke batang rokok dengan pola dan motif yang menarik dan unik.
Ada yang membuat pola layar pada perahu menggunakan sendok, ada pula yang membuat motif batik menggunakan lidi yang diruncingkan ujungnya. Meski terbilang kurang kerjaan, cara tersebut juga bisa dijadikan strategi untuk mengangkat batik khas Lasem melalui coretan dibatang rokok.
“Sekarang sudah tidak pakai jari, pakainya kalau tidak sendok ya benang. Kalau pakai lidi itu yang mau bikin gambar batik,” lanjut dia.
Rasa Roko Yang Dilelet Lebih Nikmat Dan Awet
Rasa dari rokok yang sudah dilelet, kata Wak Nasir aroma asapnya lebih nikmat. Ada aroma kopi saat asap rokok dikebulkan, dan tentunya proses pembakaran rokok sedikit awet karena permukaan batang rokok terlapisi ampas kopi.
“Lebih nikmat kalau dilelet, kata pembeli disini juga gitu, kalau tidak dilelet itu rasanya ada yang kurang. Mungkin karena sudah terbiasa,” lanjut dia.
Tidak sedikit dari pelanggannya dari sekitar yaitu desa Medang, Desa Karangturi dan Desa Soditan menghabiskan waktu berjam-jam di warungnya untuk melelet satu bungkus rokok. Ada juga yang membatik batang rokok sambil menikmati alunan musik yang ia setel malalui radio.
Takaran bubuk kopi yang pria usia 51 tahun ini gunakan cukup unik, dia menggunakan takaran dengan sendok obat yang ia dapat ketika membeli obat berjenis sirup. Cara memasukkan gula kedalam gelasnya juga tidak biasa, ia melemparkan gula dengan sendok keatas dan dimasukan kedalam gelas yang telah ia isi bubuk kopi.
“Dari dulu ya pakainya ini, pakai sendok obat. Satu cangkir takarannya satu setangah sendok kopi dan gulanya sama satu setengah,” terangnya.
Wak Nasir biasa berjualan ditemani oleh istrinya. Segelas kopi biasa ia jual dengan harga Rp. 3000, jika menggunakan gelas besar harganya Rp. 5000. Pria dua anak ini mengaku mulai buka warung pada jam 08.00 pagi dan tutup sekitar jam 18.00 WIB atau habis magrib.
“Kalau dulu bukanya sampai pol malam, kalau sekarang banyak warung (warung kopi) lainnya jadi habis magrib tutup, istilahnya ya bagi-bagi rejeki,” jelas dia.